Pada tanggal 30 Juni 2025, terjadi penggeledahan oleh pihak Kejari Halmahera Timur, Maluku Utara, di dua kantor Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemkab Haltim, yakni Dinas Pertanahan dan Lingkungan Hidup (DPLH) serta Dinas Perdagangan, Perindustrian dan UMKM. Tindakan ini bertujuan untuk menyelidiki dugaan tindak pidana korupsi terkait pengelolaan ruang terbuka hijau (RTH) di Masjid Raya Iqra untuk tahun anggaran 2022 dan 2023 yang ditaksir merugikan negara sebesar Rp 5,9 miliar.
Penggeledahan yang dipimpin oleh Kepala Seksi Pidana Khusus, Ahmad Bagir, didampingi Kasi Intelijen, Muhammad S Mae, dan Kasi Pidum, Komang Noprizal, menjadi langkah nyata dalam upaya penegakan hukum. Namun, apa sebenarnya yang terjadi dalam kasus ini? Apa saja fakta dan implikasi yang dapat diambil?
Penggeledahan dan Proses Penyidikan yang Dijalankan
Proses penggeledahan ini dilakukan sebagai bagian dari tindakan hukum untuk mencari alat bukti yang diperlukan dalam perkara dugaan korupsi. Menurut Kepala Kejari Haltim, Satria Irawan, penggeledahan tersebut bertujuan memastikan bahwa semua bukti yang relevan bisa ditemukan untuk proses hukum selanjutnya.
“Proyek RTH Masjid Raya Iqra ini dibiayai oleh Dinas Pertanahan dan Lingkungan Hidup selama dua tahun anggaran. Sebagian dana juga bersumber dari corporate social responsibility (CSR) PT Antam. Penganggaran ini menjadi salah satu fokus kami karena terdapat indikasi penganggaran berulang. Proyek yang telah selesai dibiayai kembali, menunjukkan potensi kerugian keuangan daerah yang signifikan,” jelas Satria, menggambarkan kompleksitas kasus tersebut.
Dari hasil penggeledahan, sebanyak 60 dokumen penting berhasil disita dari kantor DPLH dan akan dijadikan alat bukti tambahan. Kejari telah memeriksa 13 orang yang menjadi saksi dalam perkara ini. Namun, hingga saat ini belum ada pengumuman resmi mengenai calon tersangka, karena tim masih mengumpulkan bukti dan data yang diperlukan untuk menentukan langkah selanjutnya.
Indikasi Kerugian Negara dan Tindakan Lanjut yang Diperlukan
Satria Irawan menjelaskan, hingga kini pihaknya telah mengidentifikasi kantong-kantong tempatan yang dapat digunakan untuk menghitung kerugian negara. Meskipun belum ada angka definitif, asumsi awal menunjukkan bahwa besaran kerugian negara sangat mungkin lebih besar dari yang telah teridentifikasi.
Untuk proyek RTH tersebut, total anggarannya mencapai Rp 5,9 miliar. Anggaran melalui APBD untuk tahun 2022 dan 2023 berjumlah Rp 4,7 miliar, sementara CSR PT Antam berkontribusi sebesar Rp 1,1 miliar. Angka-angka ini membuka peluang untuk ditelusuri lebih dalam, terutama jika ada bukti tambahan yang muncul selama penyidikan.
Melihat dari sudut pandang merespons masyarakat, Satria mengajak semua kalangan untuk ikut mengawasi dan memantau setiap kasus yang ditangani oleh Kejari. “Kami berharap masyarakat dan media dapat berperan aktif dalam mengawal kasus-kasus seperti ini untuk mencapai transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah,” tandasnya.