Oleh: Sutrisno Pangaribuan
Warga Sumatera Utara, Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas)
_________
BERDASARKAN Peraturan Presiden (Perpres) No. 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025, Kawasan Danau Toba ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Tujuannya untuk mengembangkan potensi pariwisata dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan Danau Toba. Danau Toba juga termasuk dalam Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) Medan-Toba dan sekitarnya.
Selanjutnya, lahirnya Perpres No. 81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya memberikan landasan bagi pengelolaan ruang yang terencana. Dengan pengaturan pemanfaatan lahan, pengembangan wilayah, serta pelestarian lingkungan, diharapkan keberlangsungan pembangunan dapat berjalan harmonis, menciptakan keseimbangan antara ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Pengelolaan Berkelanjutan dan Tantangannya
Pengembangan kawasan Danau Toba terus berlanjut dengan adanya Perpres No. 49 Tahun 2016 yang membentuk Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata. Tujuannya adalah untuk mempercepat pembangunan serta menyatukan berbagai kewenangan dalam pengelolaan. Namun, tantangan masih ada; banyak pihak yang merasa pengelolaan ini tidak berjalan seperti yang diharapkan. Bagaimana menjadikan pengelolaan ini lebih efektif dan efisien?
Data menunjukkan bahwa investasi di sektor pariwisata di Danau Toba meningkat pesat, namun dampak nyata kepada masyarakat masih perlu ditinjau lebih dalam. Adanya pelibatan masyarakat dan stakeholders lokal dalam setiap keputusan adalah kunci agar pengelolaan ini tidak hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu, tetapi juga memberikan manfaat langsung kepada komunitas lokal.
Tantangan dan Partisipasi Publik
Sisi lain yang tak kalah penting adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan kawasan ini. Salah satu kritik utama adalah bahwa proses pengambilan keputusan sering bersifat “top down”, di mana pemerintah pusat mengambil langkah-langkah tanpa melibatkan suara rakyat. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan, apalagi jika kebijakan yang diambil tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Keberadaan pemerintah daerah sering kali hanya sebagai pelaksana, bukan pengambil keputusan.
Inisiatif yang ada harusnya tidak hanya fokus pada proyek-proyek besar yang menarik investasi semata, tetapi juga aktivitas yang melibatkan budaya lokal, yang dapat mendorong partisipasi dan menghidupkan kembali tradisi setempat. Masyarakat merindukan peran aktif dalam keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka. Dengan demikian, penataan Kawasan Danau Toba tidak hanya menjadi tempat wisata, tetapi juga ruang untuk menjaga dan merawat warisan budaya dan alam yang ada.
Dengan adanya masalah-masalah ini, evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan dan strategi yang telah diterapkan sangat diperlukan. Jika tidak, potensi besar kawasan ini bisa tersia-sia, dan masyarakat akan tetap menjadi penonton dari kebijakan yang diambil.
Penutup ini menggarisbawahi harapan agar pemerintah pusat dapat lebih inklusif dalam perencanaan dan pengambilan keputusan yang memengaruhi Kawasan Danau Toba, sehingga kesejahteraan masyarakat lokal bisa terwujud.