Oleh: Fahmi Djaguna
Dekan FKIP UNIPAS Morotai
________
“Sejarah adalah suatu perjanjian di antara orang yang sudah meninggal, mereka yang masih hidup, dan mereka yang belum dilahirkan”-Edmund Burke (Politikus dan filsuf dari Inggris, 1729-1797).
KETIKA kita berbincang mengenai nama suatu bandara, kita sebenarnya menyentuh bagian dari sejarah yang tak terpisahkan dari identitas suatu daerah. Setiap nama yang diberikan bukan sekadar sekumpulan huruf, melainkan sebuah narasi yang menyimpan makna mendalam, nilai, dan warisan bagi generasi mendatang. Dalam konteks Bandara Pitu Morotai, wacana yang dilontarkan oleh berbagai tokoh tentang perubahan nama seharusnya tidak hanya terbatas pada pandangan historis sempit namun juga melibatkan dimensi lokalitas yang lebih kaya.
Sultan Iskandar Muhammad Jabir Syah memang terkenal sebagai tokoh penting dalam sejarah Ternate, tetapi mengganti nama Bandara Pitu Morotai menjadi namanya haruslah diiringi dengan pertimbangan yang lebih matang. Ganti nama ini tidak cukup hanya berlandaskan romantika sejarah, justru harus berfokus pada siapa yang benar-benar berjuang dan berdarah di tanah Morotai. Sejarah bukan saja milik mereka yang berkuasa, namun juga mereka yang memperjuangkan hak dan kebebasan mereka di tanah air mereka sendiri.
Mendalami Sejarah Pitu dan Kontribusi Lokal
Dalam mengulas latar belakang Bandara Pitu Morotai, kita tidak bisa menafikan fakta bahwa bandara ini memiliki jejak yang signifikan sebagai pangkalan militer Sekutu saat Perang Pasifik. Nama “Pitu” diambil dari kata dalam bahasa lokal yang memiliki makna mendalam. Bandara ini menjadi saksi bisu bagaimana Morotai menjadi pusat strategi militer global, sekaligus menjadi tempat perjuangan rakyat lokal dalam mempertahankan kemerdekaan.
Saat kita menggali lebih dalam, kita menemukan sosok Haji Ahmad Syukur, seorang pahlawan lokal yang memiliki peran krusial dalam sejarah Morotai. Haji Ahmad Syukur bukan hanya sekadar nama, tetapi dia adalah salah satu penjaga bara semangat kemerdekaan. Melalui catatan sejarah yang ditulis oleh berbagai akademisi, termasuk Abd. Rahman, kita bisa melihat bahwa Haji Ahmad Syukur berani menghadapi penjajahan dengan mengedarkan pamflet kemerdekaan serta menyerukan semangat pada masyarakat. Ini adalah bagian dari perjuangan yang nyata dan tidak dapat kita lupakan.
Membangun Narasi Sejarah yang Berkelanjutan
Penting untuk kita memahami bahwa mengganti nama bandara haruslah melalui suatu dialog yang melibatkan masyarakat. Biarkan suara-suara di akar rumput didengarkan, karena mereka yang tahu dan merasa perjuangan di tanah Morotai. Mengubah nama tanpa melibatkan suara lokal bisa menghapus jejak sejarah yang telah susah payah dibangun.
Kita harus menempatkan penghargaan yang tepat untuk setiap tokoh dan peristiwa. Nama yang kita pilih harus mencerminkan jiwa masyarakat, bukan sekadar simbol status atau kepentingan tertentu. Dalam konteks ini, Haji Ahmad Syukur adalah cermin dari perlawanan dan keberanian rakyat Morotai. Mengapa kita tidak merayakan keberanian sosok lokal ketika banyak pahlawan di negeri ini yang patut dikenang?
Sejarah harus menjadi refleksi dari nilai-nilai yang kita junjung. Apakah kita ingin meninggalkan warisan yang mengingatkan pada pertempuran jarak jauh atau justru pada semangat perjuangan yang tumbuh dari tanah yang kita pijak? Mari kita ingat bahwa sejarah yang baik adalah kisah yang diisi oleh mereka yang berkontribusi secara signifikan terhadap pembentukan identitas suatu daerah.
Dengan demikian, mari kita bawa Morotai berbicara dengan caranya sendiri. Dalam penamaan bandara, kita harus meletakkan harapan pada nama yang tidak hanya berfungsi sebagai identitas lokasi, tetapi juga sebagai lambang semangat perjuangan dan pengorbanan. Mari kita jaga agar nama tersebut berimbang, mencerminkan jiwa dan cerita rakyat, serta menyampaikan pesan penting kepada generasi selanjutnya. Tabea! (*)