________
MUHARRAM menghadirkan dua perspektif yang berbeda. Ia bukan hanya merupakan bulan yang diwarnai oleh kegembiraan, tetapi juga duka mendalam bagi banyak umat.
Di Indonesia, bulan yang penuh berkah ini dirayakan dengan berbagai tradisi yang kaya, sebagai warisan budaya yang melekat sejak penyebaran Islam. Berbagai acara diadakan untuk memperingati bulan ini, menciptakan suasana yang bersemangat di tengah masyarakat.
Di Maluku Utara, misalnya, masyarakat merayakan dengan “pawai obor”, sebuah tradisi yang juga ditemukan di Jakarta dan Banten. Saya sendiri menyaksikan keindahan pawai obor ini di kompleks permukiman Betawi pada malam 1 Muharram, sebuah pengalaman yang memikat hati. Di Jawa, “Kirab Muharram” menjadi salah satu highlight perayaan, sementara di Bengkulu terdapat tradisi “Tabot”. Beraneka ragam budaya ini menciptakan suasana festival yang penuh suka cita.
Namun, di sisi lain, bulan ini juga menandai peristiwa Karbala yang menyedihkan. Selain merayakan tradisi yang sudah lama ada, kita juga perlu menyebarkan nilai-nilai universal yang terkandung dalam bulan Muharram. Tidak dapat dipisahkan dari perjalanan hidup Sayyidina Husein, yang tentunya harus kita ingat dan hargai, meski ada beberapa yang mengaitkan dengan ritus tertentu.
Kita pasti mengenal sosok Husein bin Ali, cucu Rasulullah Saw, yang terbunuh pada bulan ini. Peringatan tentang beliau diisi dengan acara kajian, salawatan, tahlil, dan menyantuni anak yatim, sebagai rangkaian kegiatan positif yang mencerminkan nilai-nilai kebaikan.
—000—
Dalam karya “Maqtal Husain bin Ali bin Abi Thalib”, Al-Thabrani menuturkan momen indah ketika Husein kecil masuk ke dalam kamar Nabi, yang saat itu sedang menerima wahyu. Husein meloncat ke pundak Nabi, menciptakan momen penuh kasih. Jibril yang menyaksikan kemudian bertanya kepada Nabi: “Wahai Muhammad, apa Engkau mencintainya?”. Jawaban Nabi begitu menyentuh, menunjukkan betapa dalam kasih sayangnya terhadap sang cucu.
Di sisi lain, sebuah kisah dari Ummu Salamah juga menggambarkan betapa perahunya yang berlayar melintasi waktu, melihat Rasulullah yang sedang bersedih. Dalam mimpinya, beliau melihat kepala dan jenggot Nabi berdebu, simbol kesedihan mendalam yang datang dari masa depan, ketika Husein akan terbunuh.
Dengan penuh kesedihan, Prof. Dr. Nadirsyah Hosen menggambarkan akhir tragis kehidupan Husein. Pada usia 58 tahun, ia berdiri di hadapan pasukan yang mengepungnya setelah salat Subuh pada hari ke-10 bulan Muharram. Bahasa yang digunakan Husein pada saat itu: “Apa yang kalian lihat dari nasabku? Lihatlah siapa aku ini, kemudian cermati apakah pantas bagi kalian untuk membunuhku?” dan banyak lagi, menjadi gambaran yang kuat bagaimana nobleness berhadapan dengan kezaliman.
Data yang dimiliki oleh Ibnu Katsir mencatat bahwa pada hari itu, 72 pengikut Husein terkorbankan. Di sisi lain, terdapat pula ribuan pasukan yang berusaha menaklukkan beliau. Hal ini menunjukkan betapa berat dan memilukannya pertarungan antara keadilan dan kekuatan yang tidak benar.
Imam Suyuthi dalam catatannya menjelaskan betapa situasi pada hari Husein terbunuh menjadi sangat mencekam, seakan alam pun merasakan kedukaan yang mendalam. Dunia seakan terhenti, dan fenomena alam seperti gerhana menunjukkan betapa tragisnya peristiwa tersebut.
—000—-
Tragedi Karbala bukan hanya sekadar kisah sejarah, tetapi merupakan tragedi kemanusiaan yang menggetarkan jiwa setiap individu yang paham akan makna ketidakadilan. Bulan Muharram seharusnya menjadi momen refleksi dan pembaruan untuk umat Islam, sebagai komitmen untuk menegakkan keadilan dan menolak segala bentuk kedzaliman.
Partisipasi dalam pelaksanaan acara-acara yang berkaitan dengan Muharram perlu dikelola secara kreatif. Tradisi yang ada tidak perlu dibuang, tetapi bisa dikemas dengan konteks modern tanpa mengurangi esensinya. Ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari sejarah, yang membawa kepada pertanyaan mendalam mengenai keadilan dan moralitas, terutama dalam konteks politik dan kekuasaan.
Mereka yang terlibat dalam pertikaian dan kekacauan pada zaman dahulu, sepertinya tidak menyadari bahwa harga dari sebuah kursi kekuasaan sangat mahal, bahkan harus mengorbankan seorang cucu Rasul. Pertanyaannya kini, apakah ada harapan bagi mereka untuk mendapatkan syafaat dari Nabi di Akhirat kelak?
Banyak pelajaran berharga tersimpan di balik kisah ini. Pertarungan politik yang membawa dampak besar, mengajarkan kita untuk tidak mengorbankan kehormatan dan kesucian individu demi ambisi.
Oleh karena itu, bulan Muharram dipenuhi dengan momen-momen mendalam yang membawa makna suka dan duka bagi umat Islam, sebagai pengingat akan pentingnya berbuat baik dan menegakkan kedamaian. Wallahu’alam. (*)