Oleh: Risal M. Nur
_______
UNGKAPAN “homo homini lupus”, yang artinya manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, menyoroti potret gelap dalam hubungan antarindividu. Pandangan ini, pertama kali diungkapkan oleh Plautus dan kemudian diperkuat oleh filsuf politik Thomas Hobbes, menunjukkan bahwa dalam keadaan alami, manusia cenderung berperilaku egois dan saling merugikan. Dalam konteks ini, manusia tidak lagi berpikir sebagai kolektif tetapi lebih sebagai individu yang berusaha memenuhi hasratnya, terkadang dengan mengorbankan orang lain.
Realitas ini tampaknya semakin relevan ketika kita melihat dinamika sosial dan politik yang terjadi di Indonesia saat ini. Kita dapat melihat bahwa ketimpangan sosial semakin melebar, sementara solidaritas di antara masyarakat terus menurun. Bukan lagi kolaborasi yang terjadi, melainkan semangat dominasi dan saling eksploitasi yang mendominasi hubungan antarindividu dan antarkelompok.
Politik: Ketidakadilan dalam Arena Kekuasaan
Saat ini, dunia politik Indonesia lebih terlihat sebagai ladang pertarungan daripada sarana pengabdian kepada rakyat. Pemilu, yang seharusnya menjadi tempat bagi suara rakyat, sering kali berubah menjadi arena di mana individu saling berlomba untuk meraih kekuasaan dengan berbagai cara, termasuk intrik dan manipulasi. Hal ini menyebabkan politik uang, politik identitas, dan penyebaran hoaks menjadi strategi yang umum digunakan untuk meraih kekuasaan yang diinginkan.
Dalam konteks seperti ini, pandangan Hobbes tentang “perang semua melawan semua” tampak sangat relevan. Kita dapat melihat elite politik yang menggunakan media, hukum, dan kekuasaan untuk mempertahankan dominasi mereka, bukan untuk membela kepentingan rakyat. Ketika moral dan etika menghilang dari arena politik, manusia cenderung lebih melihat satu sama lain sebagai ancaman.
Pendidikan: Krisis Karakter di Tengah Persaingan
Bidang pendidikan saat ini seharusnya menjadi tempat untuk mencetak generasi yang cerdas dan berbudi pekerti. Namun, realitasnya, pendidikan telah terjerumus ke dalam semangat persaingan yang sangat tidak sehat. Siswa didorong untuk saling bersaing, bukan berkolaborasi, sering kali mengorbankan integritas demi mencapai prestasi akademik.
Sikap semacam ini menciptakan logika bahwa untuk meraih kesuksesan, segala cara bisa diterima. Guru yang seharusnya menjadi panutan moral kadang terlibat dalam tindakan tidak etis, seperti manipulasi nilai atau bahkan kekerasan. Akibatnya, pendidikan gagal menanamkan nilai moral yang seharusnya menjadi fondasi bagi generasi muda. Hasilnya, kita mencetak individu yang oportunis dan pragmatis, bukannya karakter yang memiliki integritas.
Organisasi: Keterpurukan dalam Hubungan Kerjasama
Di dalam organisasi, baik di tingkat kampus, komunitas, atau lembaga, semangat kolaborasi sering kali tergantikan oleh ambisi pribadi. Organisasi seharusnya menjadi wadah untuk kerjasama dan pencapaian tujuan bersama, tetapi banyak yang justru dipenuhi oleh konflik dan kepentingan individu. Dalam organisasi mahasiswa, misalnya, kompetisi kepemimpinan sering kali dikuasai oleh praktik-praktik manipulatif.
Perebutan posisi struktural tampak lebih bernada persaingan daripada kolaborasi, menciptakan lingkungan yang tidak sehat. Bahkan dalam organisasi sosial keagamaan, yang seharusnya menjadi tempat refleksi nilai-nilai spiritual, tak jarang terjadi konflik internal akibat perbedaan pandangan. Ini mengindikasikan bahwa relasi antarmanusia dalam lingkungan organisasi pun bisa terdegradasi secara moral.
Refleksi dan Solusi untuk Masa Depan
Dalam kendala ini, semua elemen bangsa perlu merenungkan bagaimana kita bisa menjadikan masyarakat lebih baik. Jika manusia terus berperilaku seperti serigala, pemerintah dan masyarakat perlu berusaha untuk membangun kembali etika, keadilan sosial, dan pendidikan yang benar-benar berbasis karakter.
- Menanamkan pendidikan karakter dalam kurikulum agar siswa tidak hanya cerdas tetapi juga berbudi pekerti.
- Menegakkan hukum secara adil untuk menghentikan praktik predatori di dalam kekuasaan.
- Membangun budaya organisasi yang lebih inklusif dan kolaboratif agar tidak ada lagi individu yang merasa di atas yang lain.
- Melakukan reformasi etika politik untuk memastikan bahwa kekuasaan digunakan untuk melayani rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi.
Seperti yang diungkapkan oleh Michel Foucault, “di mana ada kekuasaan, di situ pula ada perlawanan.” Untuk menghadapi sifat predatoris dalam kemanusiaan, kita perlu membangun kekuatan moral yang dapat melawan arus egoisme.
Indonesia kini berada di titik krusial; kita harus memilih antara menjadi bangsa yang beradab atau mengizinkan naluri serigala menguasai. Jika kita gagal meningkatkan kualitas sistem sosial dan pendidikan, maka kita akan terus terjebak dalam lingkaran ketidakadilan dan egoisme. Tanggung jawab kita adalah membangun masyarakat yang berkeadaban dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.