Oleh: Yunita Kadir
Jurnalis
________
“Sepenggal Interupsi atas Keadilan”
AWAL Agustus 2025, Indonesia mengalami sebuah kejutan besar dengan keputusan kontroversial yakni abolisi dan amnesti. Dua istilah ini tampak semacam kekuatan sakti dalam menyelamatkan individu yang tersangkut dalam kasus korupsi. Dengan situasi seperti ini, pertanyaannya: di mana letak keadilan bagi rakyat kecil?
Mantan pejabat tinggi yang terkena kasus, Tom Lembong, dihadapkan pada kenyataan pahit setelah divonis 4,5 tahun penjara. Namun, keputusan Presiden Prabowo Subianto dalam Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2025 membuatnya terbebas dari jeratan hukum melalui mekanisme abolisi. Ironisnya, tindakan yang seharusnya menjadi penegakan hukum tersebut justru menimbulkan tanda tanya besar di benak masyarakat.
Abolisi dan Pertanyaan Moral
Abolisi, sebagai langkah hukum, menjadi sorotan publik karena menghapuskan seluruh efek dari putusan pengadilan untuk individu tertentu. Tom Lembong, yang terbukti melawan hukum dengan merugikan negara hingga lebih dari Rp 515 miliar, seolah mendapatkan hak istimewa yang tidak diberikan kepada rakyat biasa. Pemberian abolisi ini membutuhkan persetujuan DPR dan diklaim sebagai langkah rekonsiliasi nasional.
Rekonciliasi dan persatuan yang dijadikan alasan tampaknya tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat luas. Hal ini menimbulkan pertanyaan: Bagaimana dengan individu atau kelompok yang tidak memiliki kekuatan politik, tetapi berjuang demi hak mereka?
Diskriminasi Dalam Penegakan Hukum
Kasus 11 warga Desa Maba Sangaji di Halmahera Timur menjadi contoh nyata ketidakadilan. Mereka bukan pejabat atau tokoh yang memiliki kuasa, melainkan petani biasa yang memperjuangkan tanah adat dari invasi kepentingan korporasi. Sayangnya, mereka dihadapkan pada hukum yang menjerat dengan tuduhan melanggar UU Darurat karena dianggap menghalangi aktivitas tambang.
Ini menjadi situasi yang absurd; individu merugikan negara ratusan miliar mendapatkan amnesti sementara para pejuang hak-hak rakyat terancam hukuman penjara. Pertarungan untuk hak atas tambang yang mencemari tanah mereka harusnya dianggap sebagai sebuah perjuangan, bukan tindak kejahatan. Bukankah seharusnya hukum melindungi mereka yang lemah di hadapan kekuasaan?
Sikap penegak hukum yang tidak adil ini menciptakan ketegangan dan menghadirkan pertanyaan besar di dalam masyarakat. Mengapa hukum merasa lebih berpihak kepada mereka yang memiliki kekuasaan dan bukan kepada mereka yang hanya ingin bertahan hidup?
Tentu saja, ada harapan bahwa hukum di Indonesia bisa lebih adil. Pihak kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan perlu berperan aktif dalam menciptakan sistem hukum yang lebih berpihak kepada orang banyak. Apakah kita akan terus membiarkan keadilan berjalan dengan cara yang timpang? Atau saatnya kita bersuara dan memperjuangkan hak kita bersama?
Jika pejuang hak tanah adat dapat diperlakukan sama seperti koruptor yang merugikan negara, maka keadilan di Indonesia masih berada dalam bayang-bayang. Mari kita bersatu untuk menuntut perubahan.