• Hubungi Kami
  • Tentang Kami
  • Kebijakan Privasi
  • Disclaimer
No Result
View All Result
  • Login
Indoheadline.id
  • Home
  • Politik
  • Perkara
  • Daerah
  • Buah Pikir
  • Rupa-Rupa
  • Home
  • Politik
  • Perkara
  • Daerah
  • Buah Pikir
  • Rupa-Rupa
No Result
View All Result
Indoheadline.id
No Result
View All Result
Home Buah Pikir

Kora-Kora Tanpa Ruh

Kora-Kora Tanpa Ruh

Oleh: Asmar Hi. Daud

Festival Kora-Kora 2025 telah berlalu. Dimulai pada 19 Juni dan dijadwalkan berakhir malam 21 Juni. Namun, pertanyaan yang mengemuka adalah: apa yang sebenarnya terjadi dalam festival ini?

Malam puncak festival terpaksa dibatalkan akibat cuaca ekstrem. Hujan deras menggenangi Kota Ternate, menyebabkan terjadinya banjir bandang di beberapa kelurahan. Warga terpaksa dievakuasi oleh tim SAR pada saat yang seharusnya menjadi puncak perayaan.

Kejadian ini bukan yang pertama. Pada Agustus 2024, festival yang sama juga dilanda bencana serupa, menimbulkan banyak kerugian bahkan korban jiwa. Ini mengajukan pertanyaan lebih dalam: Apakah ini hanya kebetulan, atau ada pesan tersirat dari alam?

Di Ternate, kora-kora lebih dari sekadar perahu. Ia merupakan simbol kedalaman kekuasaan, spiritualitas, dan maritim dari Kesultanan. Armada panjang dengan pengayuh gagahnya dulu berlayar mengarungi lautan sebagai kapal perang, alat diplomasi, dan penghormatan terhadap laut yang dianggap sakral. Ia menyatukan manusia, laut, dan langit dalam satu harmoni yang mendalam.

Namun, dalam setiap gegap gempita Festival Kora-Kora yang diadakan tiap tahun, warisan ini sempat memudar. Kini terkurung dalam paket pariwisata, parade pantai, dan replika fiberglass yang jauh dari makna historis yang seharusnya melekat.

Pemerintah setempat mengklaim festival ini sebagai upaya promosi budaya dan ekonomi kreatif. Sejak dimasukkan dalam Kharisma Event Nusantara 2023, Festival Kora-Kora bahkan dicanangkan berpotensi mendapatkan pengakuan dari lembaga internasional. Namun, muncul pertanyaan: Apakah yang diwariskan dalam festival ini? Apakah esensi kora-kora masih ada, atau hanya kulit luar yang ditampilkan untuk kepentingan publik?

Replika fiberglass tidak bisa menyamai keaslian kayu sukun. Parade di tempat yang megah bukanlah sebuah ritual pelayaran yang sesungguhnya. Yang menyedihkan, komunitas adat, pembuat perahu tradisional, bahkan pihak kesultanan jarang terlibat dalam penyelenggaraan secara berarti. Festival ini semakin bertransformasi menjadi sekadar tontonan, bukan ruang untuk mewarisi tradisi.

Dua tahun berturut-turut, malam puncak festival selalu terbenam dalam hujan, disertai banjir dan kerugian jiwa. Ada yang beranggapan ini bisa jadi ”kutukan laut.” Namun, bagi mereka yang terbiasa dengan budaya maritim, ini lebih merupakan sinyal dari alam. Sebuah teguran. Sebuah peringatan bahwa laut, sebagai ruang sakral, telah beralih fungsi menjadi sekadar panggung kosong.

Berbeda dengan Bandar Neira, di mana Festival Kora-Kora tidak hanya menjadi kompetisi kecepatan. Di sini, perahu tetap dibuat dari kayu, dengan bentuk asli yang dipertahankan dan ornamen yang simbolis. Masyarakat setempat terlibat secara aktif. Tema festival berhubungan erat dengan sejarah, dan ritual-ritual adat menjadi pembuka acara. Festival di Banda Neira menjadi ruang edukasi dan pewarisan budaya hidup, bukan sekedar atraksi wisata.

Sementara di Ternate, siapa sesungguhnya yang berperan sebagai nakhoda, panglima, atau pengayuh? Tidak ada penjelasan yang jelas. Tidak ada dokumentasi tentang bentuk asli perahu—panjang, jenis kayu, atau simbol yang menghiasi lambungnya. Yang terlihat justru adalah perlombaan perahu plastik yang dibangun dalam keterbatasan waktu dan makna.

Festival ini tidak bisa lagi dilihat sebagai sekadar seremonial. Sudah saatnya kita memaknai ulang acara ini sebagai gerakan pemulihan budaya. Pemerintah perlu membentuk tim yang khusus bertugas merestorasi nilai-nilai budaya Kora-Kora, melibatkan Kesultanan, budayawan, pembuat perahu, dan sejarawan. Susun panduan resmi mengenai bentuk, nilai, dan ritus yang melekat pada kora-kora. Bangun kembali sebuah perahu kayu asli, bukan untuk dilombakan, tetapi untuk dihormati sebagai warisan leluhur.

Libatkan para tukang perahu dari daerah setempat—mereka yang memahami bahasa kayu dan bisikan gelombang. Laksanakan ritual adat sebelum festival dibuka. Ajak masyarakat tidak hanya hadir sebagai penonton, tetapi untuk turut menghidupkan kembali warisan maritim kita. Karena laut dalam kultur kita bukanlah benda mati, melainkan entitas yang memiliki jiwa. Ketika laut tidak lagi bisa berbicara, daratanlah yang akan berteriak.

Festival Kora-Kora seharusnya menjadi pengingat bahwa Ternate adalah kota pulau, anak laut, dan pewaris tradisi maritim yang dulunya dihormati oleh dunia. Jangan pernah ganti kora-kora leluhur dengan perahu modern berbahan resin. Jangan tukar sejarah dengan brosur kosong.

Karena warisan budaya seharusnya tidak dijual dengan cepat, tetapi dirawat dan dilestarikan. Karena sejarah sepatutnya tidak hanya dikenang, tetapi juga dihormati. Dan laut bukan untuk ditaklukkan, tetapi disyukuri.

Jika kita terus mengabaikan pesan-pesan yang disampaikan oleh laut dan langit, festival ini mungkin akan menjadi seremonial tanpa jiwa di masa mendatang. Yang hilang bukan hanya perahu kayu, tetapi juga koneksi kita dengan laut, tempat kita berasal.

Mari kita dengar kembali suara kora-kora—dari ombak, dari kayu tua, dari nyanyian dayung yang menyatu dengan angin. Suara yang memanggil kita untuk kembali kepada akar, leluhur, dan laut yang telah memberi kita tempat tinggal dan kehidupan.

Previous Post

Kelompok 5 Mahasiswa KKSD Gelar Kerja Bakti

Next Post

Komisi III Minta Perbaikan Kerusakan Jalan Nasional di Morotai

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kategori

  • Buah Pikir (52)
  • Daerah (69)
  • Perkara (65)
  • Politik (24)
  • Rupa-Rupa (28)

TrendingHot

Kejari Tidore Terima Tahap II 10 Tersangka Pendemo PT

Kejari Tidore Terima Tahap II 10 Tersangka Pendemo PT

Kampung Nelayan Maluku Utara: Isu Politik atau Aspek Teknis?

Kampung Nelayan Maluku Utara: Isu Politik atau Aspek Teknis?

Sidang Paripurna DPD RI, Senator Minta Pempus Perhatikan 3 Isu di Maluku Utara

Sidang Paripurna DPD RI, Senator Minta Pempus Perhatikan 3 Isu di Maluku Utara

Wasit Morotai Dipilih Pimpin Pertandingan Liga 4 Nasional

Wasit Morotai Dipilih Pimpin Pertandingan Liga 4 Nasional

Sidebar

Indoheadline.id

© 2025 www.indoheadline.id – Diterbitkan oleh Indoheadline Media.

Temukan Kami

  • Hubungi Kami
  • Tentang Kami
  • Kebijakan Privasi
  • Disclaimer

Gabung Di Sosial Media

No Result
View All Result
  • Home
  • Politik
  • Perkara
  • Daerah
  • Buah Pikir
  • Rupa-Rupa

© 2025 www.indoheadline.id – Diterbitkan oleh Indoheadline Media.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In