Oleh: Gusai Fabanyo
Komite Pimpinan Pusat Samurai Maluku Utara
_______
HALMAHERA, pulau terbesar di provinsi Maluku Utara, kini tidak lagi menjadi rumah yang tenang bagi masyarakatnya. Di balik lanskap alam yang mempesona, hutan yang dulu lebat, dan laut yang kaya akan biota, kini berdiri pabrik-pabrik pengolahan nikel dan kawasan industri tambang yang terus meluas. Pertanyaannya: itu semua sebenarnya untuk siapa?
Dalam beberapa tahun terakhir, investasi besar-besaran di sektor pertambangan dan industri nikel, terutama di kawasan Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, telah merombak wajah pulau ini. Atas nama pembangunan dan percepatan ekonomi nasional, ruang hidup masyarakat adat dan ekosistem lokal telah dikorbankan. Sungai-sungai tercemar, tanah kehilangan kesuburannya, dan konflik agraria tak bisa terhindarkan. Ironisnya, masyarakat yang telah turun-temurun tinggal dan menjaga tanah ini justru menjadi pihak yang paling terpinggirkan.
Dampak Pembangunan Terhadap Masyarakat Lokal
Jika ditelisik, model pembangunan yang diterapkan lebih berpihak kepada kepentingan korporasi dan elite kekuasaan dibandingkan kesejahteraan warga lokal. Janji pekerjaan dan peningkatan ekonomi sering kali berujung pada eksploitasi tenaga kerja, ketimpangan, dan kerusakan sosial. Masyarakat adat harus menghadapi intimidasi saat memperjuangkan tanah ulayat mereka, bahkan tidak jarang berujung kriminalisasi.
Pemerintah daerah dan pusat seharusnya menjadi penyeimbang antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan serta hak masyarakat adat. Namun dalam praktiknya, kebijakan yang dikeluarkan seringkali berat sebelah—mengizinkan perluasan konsesi tambang tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan suara masyarakat. Hal ini menimbulkan kecemasan dan keraguan tentang apakah dengan pemanfaatan sumber daya alam ini, kehidupan masyarakat lokal benar-benar jadi lebih baik.
Alternatif untuk Keberlanjutan
Halmahera bukan sekadar kawasan industri. Ia adalah rumah bagi ribuan jiwa yang memiliki sejarah, budaya, dan kehidupan yang tak ternilai harganya. Pembangunan seharusnya berakar pada keadilan sosial dan kelestarian ekologis, bukan semata pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk memikirkan alternatif yang lebih berkelanjutan, yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan semata.
Hutan Patani contohnya, adalah oikos yang harus dilindungi. Biasanya, ketika kita berbicara tentang hutan, kita berbicara tentang lebih dari sekadar kayu atau lahan. Hutan adalah bagian dari identitas, budaya, dan sejarah masyarakat lokal. Oleh karena itu, mengapa harus ada eksploitasi yang merugikan rakyat di balik nama pembangunan? Apakah kita akan tetap diam melihat tragedi ini berlanjut, atau bersikap tegas dengan suara rakyat? Pertanyaan ini harus menjadi refleksi bagi kita semua.
Kita tidak boleh membiarkan kerakusan merambah ke tempat-tempat yang masih memiliki ruang hidup. Jika pembangunan yang dilakukan tidak melibatkan partisipasi dari masyarakat setempat dan tidak memperhatikan kelestarian lingkungan, maka kita bisa memastikan bahwa sukacita dari pembangunan itu hanyalah ilusi. Oleh karena itu, sudah saatnya kita menentang tindakan yang hanya mengutamakan keuntungan jangka pendek dan berpaling ke solusi yang melibatkan masyarakat serta menjaga lingkungan. Seharusnya melalui langkah-langkah ini, kita bisa mencapai kesejahteraan bersama tanpa mengorbankan masa depan generasi yang akan datang.