Oleh: Irfan Hi. Abd Rahman
Presidium KAHMI Pulau Morotai
________
DALAM beberapa waktu terakhir, wacana pemekaran wilayah tertentu kembali ramai disuarakan oleh Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Dalam kesempatan resmi, Gubernur secara terbuka menyampaikan bahwa wilayah tersebut layak menjadi daerah otonom baru (DOB). Narasi ini disampaikan dengan semangat tinggi, namun sayangnya tidak memperhatikan konteks sosial-politik yang lebih luas di provinsi ini.
Pemekaran daerah bukanlah isu yang asing dalam dinamika desentralisasi. Pemekaran dianggap sah sebagai langkah untuk memperbaiki layanan publik dan mempercepat pembangunan. Namun dalam kasus pemekaran wilayah ini, pertanyaan mendasar pun muncul: apakah gagasan tersebut mencerminkan kehendak kolektif masyarakat, atau sekadar suara dari elite birokrasi, terutama gubernur?
Menelaah Keberlanjutan Pemekaran
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa dua aktor penting, yaitu institusi Kesultanan Tidore dan Pemerintah Kota Tidore Kepulauan, secara tegas menolak gagasan pemekaran tersebut. Kedua institusi ini memiliki legitimasi historis dan administratif atas wilayah yang dipermasalahkan. Tanpa dukungan dan persetujuan dari mereka, sulit untuk menyatakan bahwa pemekaran ini mencerminkan kehendak masyarakat. Apalagi, sejauh ini, tidak ada proses konsultasi publik yang inklusif dan terbuka yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Narasi pembangunan yang dibangun dari atas tanpa partisipasi dari bawah sering kali berujung pada resistensi sosial. Proses formal yang tidak diimbangi dengan legitimasi sosial-kultural hanya akan menciptakan disharmoni. Selain itu, rakyat patut bertanya: di mana perhatian terhadap aspirasi DOB dari wilayah lain, yang juga butuh perhatian? Wilayah-wilayah seperti Obi, Subaim, Galela, dan yang lainnya, yang juga memiliki alasan kuat untuk diajukan sebagai DOB, seolah diabaikan dalam narasi resmi.
Strategi untuk Keadilan Wilayah
Membahas soal pemekaran sebenarnya lebih dari sekadar teknokrasi atau efisiensi, lebih kepada keadilan sosial. Jika pemekaran hanya berlaku untuk wilayah-wilayah yang dekat dengan kekuasaan, maka makna otonomi daerah dan pembangunan partisipatif telah kehilangan arah. Tentu saja, perhatian besar terhadap satu wilayah harus diiringi dengan keseriusan yang sama terhadap wilayah lain yang memiliki tantangan serupa dalam akses pelayanan publik. Aspirasi pemekaran dari wilayah-wilayah yang terpencil dan kurang mendapatkan perhatian resmi sangat penting untuk dibahas.
Keadaan ini mencerminkan ketimpangan dalam narasi dan perhatian pemerintah terhadap berbagai wilayah di Maluku Utara. Dalam kajian perencanaan wilayah, kondisi ini disebut sebagai keberpihakan preferensial, di mana pengambil kebijakan lebih memprioritaskan wilayah-wilayah yang secara politik lebih dekat, meskipun secara objektif tidak lebih mendesak. Inilah bentuk ketidakadilan spasial yang perlu dicermati bersama.
Pemekaran wilayah ini masih mungkin diperjuangkan, namun seharusnya dilakukan melalui mekanisme yang deliberatif dengan menghormati struktur sosial yang ada. Dialog antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota, Kesultanan, dan masyarakat adat adalah langkah awal yang perlu dilakukan untuk membicarakan arah pembangunan kawasan secara menyeluruh. Pemekaran tidak seharusnya menjadi pemicu fragmentasi sosial yang bisa berdampak buruk bagi masyarakat.
Jika Gubernur benar-benar ingin mendorong pemekaran wilayah lain, langkah konkret semestinya telah dilakukan. Ini termasuk menyusun peta jalan DOB, membentuk tim kajian, berkomunikasi dengan DPR RI dan Kementerian Dalam Negeri, serta menjadikan narasi keadilan wilayah sebagai bagian dari setiap forum strategis. Tanpa tindakan nyata, narasi pemekaran hanya akan menjadi wacana kosong tanpa akar.
Maluku Utara bukan hanya tentang satu wilayah. Ia merupakan gugus ruang yang terdiri atas banyak entitas lokal, masing-masing dengan hak untuk diperjuangkan. Pemekaran wilayah seharusnya menjadi alat untuk pemerataan, bukan untuk memperkuat ketimpangan baru. Dalam pembangunan, yang terpenting bukanlah siapa yang paling nyaring suaranya, tetapi siapa yang paling terlibat dalam prosesnya.
Kembali lagi, pemimpin di provinsi ini seharusnya tidak bersikap selektif dalam mendorong narasi pemekaran daerah. Mengangkat satu wilayah terus-menerus, tetapi menutup mata terhadap daerah-daerah lain yang telah lama mengajukan hal serupa, hanya menunjukkan ketidakproporsionalan dalam sikap. Aspirasi pemekaran dari wilayah-wilayah lain selama bertahun-tahun seharusnya mendapat perhatian yang sama dari pemerintah.
(*)