Kapolda Maluku Utara, Irjen Pol Drs. Waris Agono, M.Si, baru-baru ini mengeluarkan surat somasi yang ditujukan kepada warga di tiga kelurahan, yaitu Ubo-Ubo, Kayumerah, dan Bastiong Karance di Kecamatan Ternate Selatan. Surat tersebut meminta warga untuk segera meninggalkan lahan yang diklaim sebagai milik Polri, dengan luas 45.735 meter persegi.
Dalam surat somasi ketiga yang ditandatangani oleh Kapolda tertanggal 8 Juli 2025, terdapat peringatan tegas agar warga mengosongkan lahan tersebut. Jika dalam waktu 60 hari, mulai dari 16 Juli hingga 13 September 2025, somasi ini tidak diindahkan, maka pihak kepolisian mengancam akan mengambil langkah hukum lebih lanjut.
Respon Warga Terhadap Somasi Lahan
Kecemasan dan ketidakpuasan mulai mencuat di kalangan warga yang menerima somasi tersebut. Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) GP Ansor Kota Ternate, Zulfikran A. Bailussy, SH, mengeluarkan pernyataan keras atas tindakan Kapolda. Menurutnya, somasi ini mencerminkan pengabaian terhadap prinsip hukum yang adil dan memperlihatkan kekhawatiran akan hak-hak tanah yang telah dikuasai secara turun-temurun oleh masyarakat.
Zulfikran mempertanyakan dasar hukum dari klaim kepemilikan tanah oleh Polri. Ia menekankan pentingnya transparansi dalam menyampaikan informasi tentang hak kepemilikan yang dimiliki, termasuk memperlihatkan dokumen sertifikat dan proses penerbitannya. Ini menjadi penting untuk memastikan bahwa hukum dipatuhi dan tidak ada yang ditindas dalam proses ini.
Proses Hukum dan Pertanggungjawaban Publik
Dalam situasi ini, LBH GP Ansor mendesak pihak kepolisian untuk menunjukkan bukti konkret terkait sertifikat tanah yang diklaim milik negara. Masyarakat berhak untuk mengetahui bagaimana status lahan yang mereka tempati bertahun-tahun bisa berubah. Zulfikran menegaskan bahwa jika ada perubahan hak milik, masyarakat perlu dilibatkan dalam proses tersebut, termasuk adanya dialog terbuka dan potensi ganti rugi.
Polda juga dinilai perlu mempertimbangkan kembali pendekatan mereka dalam menyelesaikan isu lahan ini. Mengingat pembangunan markas baru di Sofifi, pertanyaan muncul mengenai mengapa masih ada tuntutan terhadap masyarakat di Ternate. Hal ini menciptakan ketidakpastian dan mencerminkan kebijakan yang kontradiktif, di mana di satu sisi, pembangunan dioptimalkan, sementara di sisi lain, warga diancam dengan tuntutan hukum.
LBH GP Ansor menyerukan perlunya penghentian sementara seluruh tindakan hukum sampai ada proses klarifikasi yang adil dan transparan. Melalui musyawarah antara pihak kepolisian, pemerintah kota, dan tokoh masyarakat, diharapkan dapat ditemukan solusi terbaik untuk semua pihak yang terlibat.
Penggunaan hukum tanpa mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan keadilan harus dihindari. Hukum seharusnya menjadi perisai bagi masyarakat, bukan alat untuk menekan mereka. Upaya untuk mempertahankan hak rakyat dan menjamin perlindungan hak-hak konstitusi harus terus dilakukan agar keadilan benar-benar terwujud.