Oleh: Asmar Hi. Daud
Akademisi FPIK Unkhair Ternate
Maluku Utara menghadapi tantangan yang kompleks. Di tengah semangat pengembangan Indonesia sebagai poros maritim, provinsi yang dikenal sebagai penghasil perikanan dan sumber daya mineral ini masih harus berjuang untuk mendapatkan bagian yang adil dalam program pembangunan yang digulirkan oleh pemerintah pusat. Penetapan sejumlah lokasi sebagai Kampung Nelayan Merah Putih (KNMP) oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan adanya ketidakberimbangan dalam distribusi perhatian dan sumber daya.
Pentingnya Maluku Utara dalam konteks ekonomi nasional tidak dapat diabaikan. Dengan sektor pertambangan yang memberikan kontribusi hampir 49% terhadap ekonomi regional, dan lebih dari 44% dari total ekspor nikel Indonesia berasal dari wilayah ini, bisa dikatakan bahwa Maluku Utara merupakan core dari rantai pasokan global dan hilirisasi nasional. Namun, ironisnya, program-program pembangunan di sektor kelautan dan perikanan masih menempatkan provinsi ini dalam posisi yang tidak menguntungkan.
Kampung Nelayan Merah Putih: Sumber Ketidakpuasan
Penetapan enam desa sebagai KNMP pada tahun 2025, yang meliputi Supu, Tuada, Loleo, Wasileo, Bajo, dan Sangowo, menjadi sorotan. Wilayah-wilayah tersebut berada di kabupaten tertentu, sementara kota-kota penting seperti Ternate, Tidore, Halmahera Selatan, dan Pulau Taliabu tidak termasuk dalam daftar tersebut. Padahal, kawasan-kawasan ini memiliki sejarah panjang dan kontribusi signifikan di sektor perikanan, baik dalam hal penangkapan ikan maupun budidaya.
Ternate dan Tidore dikenal sebagai pelabuhan dan pusat nelayan tertua di provinsi ini. Dalam hal ini, Halmahera Selatan berkontribusi besar sebagai penghasil ikan terkemuka, sedangkan Pulau Taliabu merupakan penghasil rumput laut yang telah terkenal. Namun, dalam konteks pembangunan, empat wilayah ini mendapat perhatian yang minim.
Kemunculan enam kabupaten dalam program KNMP ini disebut-sebut hasil dari komunikasi dan advokasi intensif yang dilakukan Gubernur Sherly Tjoandra. Meskipun hal tersebut adalah langkah yang wajar, keberhasilan advokasi tidak selalu menjamin kehadiran bagi semua usulan. Kementerian Kelautan dan Perikanan umumnya menerapkan parameter teknis yang ketat untuk menentukan kelayakan usulan, termasuk legalitas desa, kesesuaian karakteristik kawasan, dan kelengkapan dokumen.
Strategi untuk Memperoleh Keadilan Spasial
Kasus Dufa-dufa di Kota Ternate dapat menjadi pelajaran. Walaupun Dufa-dufa dinyatakan sebagai kampung nelayan oleh Gubernur, hingga kini belum ada akomodasi dalam skema KNMP nasional. Ini mengindikasikan perlunya kelengkapan dokumentasi dan penyusunan proposal yang baik. Dufa-dufa belum memiliki dukungan administratif formal yang dibutuhkan, serta belum memenuhi kriteria teknik yang ditetapkan KKP.
Di sisi lain, ketimpangan antara kebijakan lokal dan akreditasi teknis menunjukkan kurangnya sinkronisasi antara pemerintah daerah dan pusat. Kriteria teknis yang kaku tidak sepatutnya mengesampingkan inisiatif lokal yang mungkin lebih memahami kebutuhan dan potensi di lapangan. Jika kita percaya bahwa proses politik dapat mempengaruhi kebijakan, maka juga harus diingat bahwa hasil teknik yang objektif tidak boleh diabaikan.
Melihat lebih jauh, wilayah-wilayah yang belum mendapatkan status KNMP perlu melakukan evaluasi internal. Telaah dokumen usulan, penyusunan peta tapak dan profil desa, serta kajian kebutuhan nelayan harus dilakukan dengan teliti. Juga perlu adanya pendekatan lintas sektor dalam pembangunan kawasan pesisir agar tidak terjebak pada eksklusivitas program.
KNMP seharusnya bukan hanya sekedar alat politik, tetapi sebuah pengakuan akan kontribusi masyarakat pesisir. Keadilan spasial harus tetap dijaga agar semua daerah merasakan manfaat dari kebijakan yang ditetapkan. Mengabaikan hal ini hanya akan menciptakan ketimpangan yang lebih besar dalam pembangunan sektor kelautan.
Akhir kata, konteks KNMP dan keberadaan Kampung Nelayan harus diperluas dan disusun dengan penuh kolaborasi dari berbagai pihak. Pendekatan transparansi dan keikutsertaan masyarakat menjadi kunci untuk mencapai integrasi yang baik antara kebijakan pusat dan kebutuhan lokal. Dengan demikian, diharapkan sektor kelautan dapat dibangun secara inklusif, mengoptimalkan potensi wilayah, sambil menjamin keadilan bagi semua pihak yang terlibat.