Refleksi Ekologis dan Kemanusiaan atas Tewasnya Babi Hutan di Ternate
Situasi mengerikan terjadi di Kelurahan Tafure, Kecamatan Kota Ternate Utara, saat seekor babi hutan memasuki permukiman warga. Dalam kondisi panik dan kebingungan, babi tersebut dikejar oleh kerumunan orang yang tidak hanya berteriak, tapi juga menyerangnya dengan pukulan dan lemparan. Dalam sekejap, babi itu terjatuh tanpa daya, tetapi kekerasan masih berhenti di situ. Keadaan ini menggugah pertanyaan visi kita sebagai manusia terhadap makhluk lain di sekitar kita.
Sebuah refleksi muncul saat salah satu saksi berkomentar, “Ternyata banyak manusia yang lebih jahat dari binatang. Babi itu sudah mati, tapi kita masih saja memukulnya.” Kalimat tersebut membangkitkan kesadaran akan perilaku kita yang sering kali mengabaikan arti kemanusiaan. Dalam kerumunan yang emosional, kita sering kali melupakan bahwa makhluk yang dikejar itu bukan musuh yang patut dibinasakan, tapi makhluk hidup yang tersesat karena kehilangan habitatnya.
Peran Babi Hutan dalam Ekosistem
Babi hutan memainkan peranan yang sangat penting dalam ekosistem. Ia bukan sekadar hewan liar; sebaliknya, ia termasuk dalam kategori insinyur ekosistem. Tugas utamanya mencakup menggemburkan tanah dan membuka ruang bagi regenerasi tumbuhan. Melalui kotoran yang dibuang, babi hutan membantu menyebarkan benih, turut berperan dalam pemangsa serangga kecil, dan menjadi bagian penting dalam rantai makanan. Kehadirannya membantu menjaga keseimbangan alam.
Kondisi ini hanya dapat terjaga ketika habitatnya tidak terganggu. Pembukaan hutan, pembangunan jalan, dan penggundulan lahan untuk perluasan area permukiman mengakibatkan rusaknya ekosistem. Ketika ruang hidup babi menyempit, dampaknya muncul dalam bentuk babi hutan yang terpaksa memasuki wilayah manusia, tidak karena keinginannya sendiri, tetapi karena terpaksa mencari makan dan tempat berlindung.
Membangun Kembali Empati dan Keseimbangan
Kejadian di Tafure bukanlah fenomena terpencil. Serupa pernah terjadi di Kelurahan Rua, di mana babi hutan juga menyerang warga. Respons yang muncul dari masyarakat cenderung bersifat emosional dan instingtif. Dalam situasi seperti ini, terdapat kebutuhan mendesak akan pendekatan berbasis ilmu pengetahuan dan kebijakan. Jika kita tidak merencanakan ruang secara bijaksana, bagaimana bisa mencapai keseimbangan ekologi yang nyata?
Kita sering merasakan ketidaknyamanan saat satwa liar memasuki kawasan perkotaan. Namun, apakah kita pernah menggali akar permasalahan? Babi hutan bukanlah makhluk yang mencari gangguan. Kehadirannya adalah dampak dari eksploitasi manusia terhadap lingkungan. Ketika hutan mereka hilang, pilihan mereka menjadi terbatas dan memaksa mereka berinteraksi dengan manusia.
Pada akhirnya, insiden ini menyoroti sifat ketakutan yang tampak nyata: babi berlari karena merasa terancam, mencari makanan karena kelaparan, dan tersesat karena habitat yang hilang. Namun, alih-alih merasakannya sebagai makhluk yang terjerat dalam situasi sulit, kita justru merasa terancam dan merespons dengan kekerasan.
Bahkan setelah tak bernyawa, kemarahan itu tidak sirna. Kita bisa merenovasi kota dengan taman dan gedung megah, tetapi jika kita kehilangan empati dan kepekaan terhadap makhluk yang tak berdaya, semua itu terasa kosong. Tewasnya babi hutan bukan hanya sekadar berita tentang “hewan mengganggu”. Lebih dari itu, ia adalah cermin buram yang menunjukkan riwayat hubungan kita dengan alam dan nilai-nilai kemanusiaan yang mulai memudar.
Perkataan teman saya mungkin benar adanya: ada manusia yang lebih jahat dari binatang. Hari itu, di Ternate, kita menyaksikan realitas pahit itu. Babi hutan tidak dapat membela dirinya, tidak bisa berbicara. Namun sikap kita dengannya—dan perlakuan yang diterimanya—menjadi pesan tak terucap yang berteriak keras. Pesan itu menyampaikan tentang kepekaan yang hilang, tentang empati yang tergerus, dan tentang siapa sebenarnya yang lebih liar di antara kita.